Seperti kita ketahui bahwa pegawai negeri maupun buruh di negara kita dalam aturan kerja punya HAK CUTI. Hak ini secara umum berjumlah 2 minggu dalam setahun. Penggunaan hak sangat beragam. Namanya juga hak, bisa diambil, bisa tidak diambil. Ada juga yang bisa ditukar dengan uang, atau ditabung dulu.
Adalah aneh kalau cuti sebagai hak tidak dimanfaatkan secara optimal oleh para pegawai/karyawan yang punya hak. Kalau hal ini yang terjadi berarti para pegawai/karyawan tidak faham hakekat dan manfaat cuti. Bukankah cuti untuk memberi kesempatan pegawai/karyawan menikmati istirahat, untuk pemeliharaan etos kerja, dan menjaga produktivitas. Ada suatu masa pegawai/karyawan jenuh, kelelahan, dan dihantui stress karena pekerjaan. Nha, cutilah saat yang tepat untuk meredam dan membereskan hal itu, sehingga kala masuk kerja lagi setelah cuti kondisinya sudah fresh, secara mental psikis dan fisik, serta siap berkarya lagi. Bukankah mesin produksi pun juga perlu waktu maintenance dengan tingkatan/skala sesuai kebutuhan. Hal ini juga untuk menghindari resiko terjadinya accident/permasalahan dalam hal kontinuitas berproduksi.
Untuk itu, jika hak ini tidak termanfaatkan secara baik dalam kerangka memelihara human capital, bisa saja Hak Cuti ini diubah saja menjadi Wajib Cuti. Cuti tidak boleh diabaikan, juga tidak boleh ditukar dengan uang atau bentuk apapun. Malah mungkin cuti 2 minggu itu bisa diwajibkan diambil per semester masing-masing satu minggu. Biar tidak menumpuk di satu waktu dan ada pendistribusian jadwal kerja yang baik di instansi ataupun tempat kerja.
Kita pun mesti tahu, cuti pun berefek secara ekonomi. Kalau cuti digunakan untuk rekreasi ke tempat-tepat rejreasi umum maka peredaran uang semakin luas. Dan geliat ekonomi menjadi baik.
Jangan sampai soal cuti ini disepelekan. Ada satu contoh dari Jepang. Berdasarkan kebijakan baru yang ditetapkan seluruh perusahaan disana wajib memastikan seluruh karyawannya mengambil cuti. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi fenomena “karoshi” atau kematian karena terlalu lelah bekerja lembur. Fenomena karoshi menyebar kepada pekerja-pekerja yang masih muda. Data tahun 2013 ditemukan fakta, pekerja Jepang sangat enggan meninggalkan pekerjaan mereka di kantor sehingga mereka hanya memanfaatkan setengah dari jatah cuti mereka. Mereka menganggap bahwa jika mereka libur sesaat mereka tidak komitmen dengan apa yang mereka kerjakan. Pada saat ini pekerja di Jepang memiliki hak untuk cuti selama 10 hari setiap tahunnya. Jumlah hari ini akan meningkat seiring lamanya mereka bekerja dengan maksimal 20 hari pertahunnya. Meskipun Labour Standards Law di Jepang telah mewajibkan perusahaan untuk membayar cuti pekerja mereka, namun sepertinya mereka tidak melakukannya. Jika hal ini diketahui oleh pemerintahan maka perusahaan akan dianggap melanggar hukum.
Inilah gambaran hak cuti perlu diberlakukan dengan tegas. Bila perlu diubah menjadi wajib cuti. Pegawai/karyawan diberikan sosialisasi yang baik tentang urgensi cuti, perusahaaan juga ditegaskan dengan aturan kepastian penggunaan hak cuti oleh pegawai/karyawannya.